BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
berbagai bidang,
Jika dianalisa kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam
bidang agama yang khusus dalam bidang agama islam terutama bidang fiqih sangat
mendasar sekali banyak orang yang belum faham khususnya dalam ilmu faroid dan
mawaris.
B. Rumusan masalah
1. sumber hukum waris islam.
2. sumber hukum waris nasional
3. hukum waris dalam kompilasi
hukum waris nasional.
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.
Tujuan Umum Memperoleh gambaran tentang
bagaimana pengetahuan tentang agama khususnya dalam bidang agama dalam pengetahuan
sumber hukum islam dalam ilmu mawaris atau faroid.
2.
Tujuan Khusus:Agar masyarakat lebih
memahami dan mengetahui seberapa penting dasar –dasar hukum islam khususnya
dalam bidang kewarisan harta benda.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sumber hukum waris islam
Hukum islam telah menerangkan dan mengatur
hal-hal ketentuan yang berkaitan dengan pembagian harta warisan dengan aturan
yang sangat adil sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam al-quran dan
al-hadist, dalam hukum warisini telah ditetapkan dengan rinci bagian masing-masing
ahli waris baik laki-laki ataupun perempuan mukai dari bapak, ibu, kakek, nenek,
suami, istri, anak, saudara dan seterusnya. Adapun ketetapan mawaris dijelaskan
pula dalam hadist.hanya hukum warislah yang dijelaskan secara terperinci dalam
al-quran sebab waris merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dalam
islam ataupun dalam negara serta di benarkan adanya oleh Allah SWT.
Adapun sumber hukum ilmu mawaris adalah al-quran dan
hadist atau sunah rosul kemudian ijtihat para ulama bukan bersumber kepada
pendapat seseorang yang terlepas dari jiwa al-quran maupun sunah rosul. Adapun sumber-sumber
hukum islam yang berhubungan dengan masalah mawaris , antara lain;
al-quran surah an-nisa
ayat 7
لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ۬ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٲلِدَانِ
وَٱلۡأَقۡرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ۬ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٲلِدَانِ
وَٱلۡأَقۡرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنۡهُ أَوۡ كَثُرَۚ نَصِيبً۬ا مَّفۡرُوضً۬ا (٧
“Bagi laki-laki ada
hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada
hak bagian [pula] dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. (7)
al-quran surah an-nisa
ayat 11-12
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوۡلَـٰدِڪُمۡۖ لِلذَّكَرِ
مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءً۬ فَوۡقَ ٱثۡنَتَيۡنِ
فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَۖ وَإِن كَانَتۡ وَٲحِدَةً۬ فَلَهَا ٱلنِّصۡفُۚ
وَلِأَبَوَيۡهِ لِكُلِّ وَٲحِدٍ۬ مِّنۡہُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ
لَهُ ۥ وَلَدٌ۬ۚ فَإِن لَّمۡ يَكُن لَّهُ ۥ وَلَدٌ۬ وَوَرِثَهُ ۥۤ
أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُۚ فَإِن كَانَ لَهُ ۥۤ إِخۡوَةٌ۬
فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ۬ يُوصِى بِہَآ أَوۡ دَيۡنٍۗ
ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ لَا تَدۡرُونَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ لَكُمۡ نَفۡعً۬اۚ
فَرِيضَةً۬ مِّنَ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمً۬ا (١١) ۞
وَلَڪُمۡ نِصۡفُ مَا تَرَكَ
أَزۡوَٲجُڪُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ۬ۚ فَإِن ڪَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ۬
فَلَڪُمُ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَڪۡنَۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ۬ يُوصِينَ بِهَآ
أَوۡ دَيۡنٍ۬ۚ وَلَهُنَّ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡتُمۡ إِن لَّمۡ يَڪُن لَّكُمۡ
وَلَدٌ۬ۚ فَإِن ڪَانَ لَڪُمۡ وَلَدٌ۬ فَلَهُنَّ ٱلثُّمُنُ مِمَّا تَرَڪۡتُمۚ
مِّنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ۬ تُوصُونَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍ۬ۗ وَإِن كَانَ رَجُلٌ۬
يُورَثُ ڪَلَـٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٌ۬ وَلَهُ ۥۤ أَخٌ أَوۡ أُخۡتٌ۬ فَلِكُلِّ
وَٲحِدٍ۬ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُۚ فَإِن ڪَانُوٓاْ أَڪۡثَرَ مِن ذَٲلِكَ فَهُمۡ
شُرَڪَآءُ فِى ٱلثُّلُثِۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ۬ يُوصَىٰ بِہَآ أَوۡ دَيۡنٍ
غَيۡرَ مُضَآرٍّ۬ۚ وَصِيَّةً۬ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ۬
(١٢)
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang [pembagian pusaka untuk] anak-anakmu.
Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua maka bagi mereka
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,
maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapaknya [saja], maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
[Pembagian-pembagian tersebut di atas] sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau [dan] sesudah dibayar hutangnya. [Tentang] orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat [banyak]
manfa’atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (11) Dan bagimu [suami-suami] seperdua dari
harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.
Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari
harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau [dan]
sesudah dibayar hutangnya.
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu
tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau dan sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki seibu saja atau seorang
saudara perempuan seibu saja maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara
itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,
maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang
dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat
kepada ahli waris . Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syari’at yang
benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”(12)
al-quran surah an-nisa
ayat 176
يَسۡتَفۡتُونَكَ قُلِ ٱللَّهُ يُفۡتِيڪُمۡ فِى ٱلۡكَلَـٰلَةِۚ
إِنِ ٱمۡرُؤٌاْ هَلَكَ لَيۡسَ لَهُ ۥ وَلَدٌ۬ وَلَهُ ۥۤ أُخۡتٌ۬ فَلَهَا
نِصۡفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ إِن لَّمۡ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ۬ۚ فَإِن
كَانَتَا ٱثۡنَتَيۡنِ فَلَهُمَا ٱلثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَۚ وَإِن كَانُوٓاْ
إِخۡوَةً۬ رِّجَالاً۬ وَنِسَآءً۬ فَلِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۗ
يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَڪُمۡ أَن تَضِلُّواْۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيمُۢ
(١٧٦)
“Mereka meminta fatwa kepadamu [tentang kalalah [1].
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah [yaitu]: jika
seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai [seluruh harta
saudara perempuan], jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan
itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh
yang meninggal. Dan jika mereka [ahli waris itu terdiri dari] saudara-saudara
laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian
dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan [hukum ini] kepadamu, supaya
kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (176)
Adapun dasar atau sumber hukum waris yang berasal dari sunah rasul ataupun
hadist di antaranya;
1.
yang artinya”alloh telah menurunkan
hukum waris bagi saudara-saudaramu yang perempuan itu dan alloh telah
menerangkan bahwa mereka mendapat bagian dua pertiga dari hartamu”
2.
yang artinya”bagi yang membunuh tidak
mendapatkan hak waris atau bagian harta warisan”(HR.An nasai)
3.
yang artinya”seorang muslim tidak berhak
mendapat bagian harta warisan dari seorang kafir,dan sebaliknya seorang kafir
tidak berhak mandapat bagian harta warisan dari seorang muslim”(HR.jamaah ahlu
hadist)
4.
Dari Ibnu Abbas RA dari Nabi SAW, beliau
bersabda: "Berikanlah faraidh (bagian-bagian yang telah ditentukan) kepada
yang berhak, dan selebihnya berikanlah kepada laki-laki dari keturunan
laki-laki yang terdekat." (HR Bukhari dan Muslim)kesimpulan atau intisari hadits
ini: Dalam pembagian warisan, ahli waris yang mendapat bagian lebih dahulu
adalah ahli waris golongan ashhabul-furudh (ahli waris yang bagian mereka sudah
tertentu), kemudian kalau ada sisanya baru diberikan kepada ahli waris golongan
‘ashabah (ahli waris penerima sisa).
5.
Dari Jabir bin Abdullah RA, dia berkata:
Janda (dari Sa'ad RA)
datang kepada Rasulullah SAW bersama dua orang anak perempuannya. Lalu ia berkata: "Wahai Rasulullah, ini dua orang anak perempuan Sa'ad yang telah syahid pada Perang Uhud. Paman mereka mengambil semua harta peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka. Keduanya tidak dapat kawin tanpa harta." Nabi SAW bersabda: "Allah akan menetapkan hukum dalam kejadian ini." Kemudian turun ayat-ayat tentang warisan. Nabi SAW memanggil si paman dan berkata: "Berikan dua pertiga untuk dua orang anak Sa'ad, seperdelapan untuk isteri Sa'ad, dan selebihnya ambil untukmu." (HR Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)Kesimpulan atau intisari hadits ini:Dalam kasus pembagian warisan yang ahli warisnya terdiri dari dua orang anak perempuan, isteri, dan paman, maka kedua anak perempuan mendapat 2/3 bagian, isteri mendapat 1/8, dan paman menjadi ‘ashabah bin-nafsi yang mendapat sisanya.
datang kepada Rasulullah SAW bersama dua orang anak perempuannya. Lalu ia berkata: "Wahai Rasulullah, ini dua orang anak perempuan Sa'ad yang telah syahid pada Perang Uhud. Paman mereka mengambil semua harta peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka. Keduanya tidak dapat kawin tanpa harta." Nabi SAW bersabda: "Allah akan menetapkan hukum dalam kejadian ini." Kemudian turun ayat-ayat tentang warisan. Nabi SAW memanggil si paman dan berkata: "Berikan dua pertiga untuk dua orang anak Sa'ad, seperdelapan untuk isteri Sa'ad, dan selebihnya ambil untukmu." (HR Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)Kesimpulan atau intisari hadits ini:Dalam kasus pembagian warisan yang ahli warisnya terdiri dari dua orang anak perempuan, isteri, dan paman, maka kedua anak perempuan mendapat 2/3 bagian, isteri mendapat 1/8, dan paman menjadi ‘ashabah bin-nafsi yang mendapat sisanya.
6.
Dari Huzail bin Surahbil RA, dia
berkata: Abu Musa RA ditanya tentang kasus kewarisan seorang anak perempuan,
anak perempuan dari anak laki-laki, dan seorang saudara perempuan. Abu Musa RA
berkata: "Untuk anak perempuan setengah, untuk saudara perempuan setengah.
Datanglah kepada Ibnu Mas'ud RA, tentu dia akan mengatakan seperti itu
pula." Kemudian ditanyakan kepada Ibnu Mas'ud RA dan dia menjawab:
"Saya menetapkan berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh Nabi SAW.
Yaitu untuk anak perempuan setengah, untuk cucu perempuan seperenam sebagai
pelengkap dua pertiga, sisanya untuk saudara perempuan." (HR Bukhari, Abu
Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)Kesimpulan atau intisari hadits ini:Hadits ini
menjadi dasar hukum yang menetapkan hak waris cucu perempuan (dari anak
laki-laki) yang mendapat 1/6 bagian jika bersama dengan seorang anak perempuan
yang mendapat 1/2 bagian. Sementara itu, saudara perempuan mendapat sisanya
(dalam hal ini, saudara perempuan menjadi ‘ashabah ma’al-ghair dengan sebab
adanya anak perempuan dan/atau cucu perempuan) Kembalilah dulu, nanti saya akan
bertanya kepada orang lain tentang hal ini." Mughirah bin Syu'bah RA
berkata: "Saya pernah menghadiri majelis Nabi SAW yang memberikan hak
nenek sebanyak seperenam." Abu Bakar RA berkata: "Apakah ada orang
lain selain kamu yang mengetahuinya?" Muhammad bin Maslamah RA berdiri dan
berkata seperti yang dikatakan Mughirah RA. Maka akhirnya Abu Bakar RA
memberikan hak warisan nenek itu." (HR Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu
Majah)Kesimpulan atau intisari hadits ini:Hadits ini menjadi dasar hukum yang
menetapkan hak waris nenek, yaitu nenek mendapat 1/6 bagian jika cucunya
meninggal dengan syarat tidak ada ibu.
Demikianlah beberapa hadits Nabi SAW yang dapat dijadikan sebagai pelengkap
sumber hukum waris Islam setelah Al-Qur’an. Dari ayat-ayat mawaris dan
hadits-hadits mawaris, maka para ulama telah menyusun satu cabang ilmu dalam
agama Islam yang diberi nama Ilmu Faraidh atau Ilmu Mawaris yang menjadi
pedoman bagi umat Islam untuk melaksanakan pembagian harta warisan sesuai
dengan petunjuk Allah SWT dan bimbingan Rasulullah SAW
IJTIHAD
Meskipun Al-Quran dan Sunnah Rasul telah memberi
ketentuan terperinci tentang pembagian harta warisan, tetapi dalam beberapa hal
masih diperlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan
dalam kedua sumber hukum tersebut. Misalnya mengenai bagian warisan orang
banci, harta warisan yang tidak habis terbagi kepada siapa sisanya diberikan,
bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan duda atau janda.
A.
SUMBER HUKUM WARIS
NASIONAL
Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasioal belum
terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan
diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hukum waris yang berdasarkan hukum
Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa .Hal ini adalah akibat warisan hukum
yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda
dahulu. Kita sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah
tentu mendambakan adanya hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional
(seperti halnya hukum perkawinan dengan UU Nomor 2 Tahun1974), yang sesuai
dengan bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan sessuai pula dengan
aspirasi yang benar-benar hidup di masyarakat.
Karena itu menginggat
bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Yang tentunya mengharapkan
berlakunya hukum Islam di Indonesia, termasuk hukum warisnya bagi mereka yang
beragama Islam, maka sudah selayaknya di dalam menyusun hukum waris nasional nanti
dapatlah kiranya ketentuan-ketentuan pokok hukum waris Islam dimasukkan ke
dalamnya, dengan memperhatikan pula pola budaya atau adat yang hidup di
masyarakat yang bersangkutan.
Adapun beberapa pasal
yang mengatur tentang hukum kewarisan di negara kita terdapat pada hukum
perdata
Hukum perdata dapat
digolongkan antara lain menjadi:
1.
Hukum keluarga
2.
Hukum harta kekayaan
3.
Hukum benda
4.
Hukum Perikatan
5.
Hukum Waris
Penempatan hukum waris
terdapat pada Pasal 528 dan Pasal 584 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata(KUHPerdata),dan pada
perundang-undangankompilasi hukum islam atau (KHI).Didalamnya subjek hukum waris terbagi 2 (dua) yakni :
·
Perwaris, yakni yang meninggalkan harta
dan diduga meninggal dengan meninggalkan harta.
·
Ahli waris, yakni mereka yang sudah
lahir pada saat warisan terbuka, hal ini berdasarkan Pasal 836 KUHPerdata.
Dalam hal ini
penggolongan ahli waris berdasarkan garis keutamaan sebagaimana yang disebutkan
dalam KUHPerdata, antara lain :
1.
Golongan 1, sebagaimana disebutkan pada
Pasal 852 sampai Pasal 852a KUH Perdata;
2.
Golongan II, sebagaimana disebutkan pada
Pasal 855 KUHPerdata;
3.
Golongan III, sebagaimana disebutkan
pada Pasal 850 jo 858 KUHPerdata; dan
4.
Golongan IV, sebagaimana disebutkan pada
Pasal 858 sampai dengan Pasal 861KUHPerdata.
B.
HUKUM WARIS
ADAT
Hukum waris adat Menurut Ter Haar, hukum waris adat adalah
aturan-aturan hukum yang bertalian dengan dari abad ke abad penerusan dan
peralihan harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke
generasi. Selain itu, pendapat Soepomo ditulis bahwa Hukum Adat Waris memuat
peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan
barang-barang harta benda yang berwujud dan yang tidak berwujud (immateriele
goederen), dari suatu angkatan generasi manusia kepada keturunnya.
Berdasarkan pendapat
di atas dapat disimpulkan, bahwa Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan dan
peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris
pada waktu masih hidup dan atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya.
Adapun sifat atsau
ciri Hukum Waris Adat dapat diperbandingkan dengan sifat atau prinsip hukum
waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah :
1.
Harta warisan dalam sistem Hukum Adat
tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan
yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan
kepentingan para ahli waris; sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum
Islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.
2.
Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal
asas legitieme portie atau bagian mutlak, sebagaimana diatur dalam hukum waris
barat dan hukum waris Islam.
3.
Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya
hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera
dibagikan.
C.
HUKUM WARIS DALAM
KOMPILASI HUKUM ISLAM
Kompilasi hukum islam tersebut adalah pengumpulan dasar-dasar hukum islam
yang di teraturkan dan di jadikan satu atau di bukukan untuk selanjutnya
dijadikan acuan hukum dasar nasional. Kompilasi
Hukum Islam (KHI) disahkan melalui Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, KHI memuat tiga buku
yaitu: buku I Hukum Perkawinan
(Pasal 1-170), Buku II Hukum Kewarisan (Pasal 171-214), Buku III Hukum Perwakafan (Pasal 215-229). Lihat Depag RI, Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia (t. tp.,: Depag RI, 1998/1999). Saat ini ada pembahasan tentang
Rancangan Undang-Undang
(RUU) Republik Indonesia tentang Hukum Terapan Peradilan Agama yang memuat 215 pasal yang terdiri
dari ketentuan umum (pasal 1), perkawinan (pasal 2-172),kewarisan (pasal
173-215) yang menurut pengamatan penulis dalam hal perkawinan dan kewarisan RUU
tersebut tidak lain adalah metamorfosis dari KHI.
Dalam kompilasi hukum
islam telah dijelaskan pada pasal 211c(khi)
“Hibah dari orang tuanya
pada anaknya dapat di perhitungkan sebagai warisan”
kesimpulan pasal
tersebut dapat di artikan bahwa sesuatu yang di hibahkan dari orang tua dapat
dikatakan sebagai warisan, kebiasan pemberian sesuatu pada anaknya baik berupa
barang ataupun yang lain yang telah mejadi kebiasan atau yang lebih kita kenal
dengan urf suatu adat kebiasaan yang telah berlangsung telah lama atau tradisi
.urf atau adat di bagi dalam dua hal :
1.
urf sahih ialah sesuatu yang telah
dikenal dan tidak berlawanan dengan hukum syara islam.
2.
urf fasuh ialah sesuatu yang telah
dikenal dan berlawanan dengan hukum syara islam.dan hal ini tidak dapat
di pelihara.
Pengumpulan sumber-sumber hukum isalam yang kemudian di jadikan satu atau
di bukukan dapat digunakan sebagai acuan hukum islam terutama dalam bidang
mawaris. kompilasi hukum nasional dalam hukum waris islam dapat kita lihat
dalam hukum kompilasi islam yang telah sedikit di terangkan di bagian atas
sebagai dasar hukum nasional yang saat ini mulai di jalankan dan jadikan
sebagai hukum negara misalnya saja dalam bab waris ini, dimana telah telah
tertulis dengan jelas pada kompilasi hukum islam (KHI) seperti Pewaris bab1Pasal 171c KHI dan ahli
waris pasal 171, 173, 174, 175 KHI, Kompilasi Hukum
Islam (KHI) disahkan melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991,KHI memuat tiga buku yaitu:
Buku I HukumPerkawinan (Pasal 1-170),
Buku
II Hukum Kewarisan (Pasal 171-214),
Buku
III HukumPerwakafan (Pasal 215-229).
D. HUBUNGAN ANTARA WARIS ISLAM DENGAN HUKUM WARIS NASIONAL
Hubumgan antara keduanya sanga erat hal ini karna keduanya mebahas tentang
perpindahan waris kepada tangan orang lain berupa barang-barang peninggalan
dalam keadaan bersih, artinya sudah dikurangi dengan pembayaran utang-utang
dari orang yang meninggalkan warisan serta dengan pembayaran-pembayaran lain
yang disebabkan oleh meninggalkanya orang yang meninggalkan warisan
tersebut.telah di jelaskan di atas tentang hukum waris nasional dan hukum waris
islam dimana Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara
nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang
berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hukum waris yang
berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa dan yang paling dominan
dijadikan hukum adalah hukum waris islam namun pemerintah telah mengesahkan
beberapa hukum islam yang di jadikan undang-undang yaitu kompilasi hukum islam (KHI)
salah satunya yang didalamnya memuat beberapa hukum islam dalam bidang-bidang
tertentu khususnya dalam bidang waris. Begitu juga dengan hukum perdata eropa
yang di gunakan di negara kita sebagai acuan hukum nasional berbagai
bidang seperti halnya bab mawaris yang termasuk dalam hukum perdata.
Hal inilah yang membuat hukum nasional dan hukum waris islam erat kaitanya
antara satu dengan yang lain dan saling berhubungnan dalam penetapan hukum di
negara kita ini, namun kebanyakan dari penetapan hukum yang berada di Indonesia
ini lebih banyak menggunakan hukum islam dari pada hukum lain.
BAB III
A.
Kesimpulan
Dasar hukum islam berasal dari ketentuan syara yang telah tercantum jelas
dalam al-quran dan sunah rasul ataupu hadist yang telah di riwayatkan, dimana
dasar yang di gunakan dan di jelaskan secara rinci tentang mawaris secara jelas
dan rinci dalam al-quran surah an-nisa.
Sedangkan hukum waris nasional Di negara kita RI ini, hukum waris yang
berlaku secara nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam
hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hukum
waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa di mana
saat ini yang lebih sering di gunnakan adalah hukum waris nasional.
Hukum nasional dalam kompilasi hukum islam sudah banyak di gunakan dan
banyak hukum-hukum islami di kumpulka dan di jadikan satu berbentuk buku dan
disahkan sebagai undang-undang (KHI).
Hubungan antara kedua hukum tersebut baik waris nasional maupu waris islam
sangat erat kaitanya hal ini karena negara kita belum terbentuk hukum waris
yang berlaku dan masih menggunkan hukum peninggalan bangsa eropa, dan hukum
adat masing-masing
DAFTAR PUSTAKA
Fiqih al-hikmah,akik pustaka,surabaya.
Al-quran dan terjemah,mahkota,surabaya.
Al-quran htp//www.al-quran exsploler.com.
Kamus besar bahasa indonesia,htp//www.kamus bahasa.com
Al-quran dan terjemah,mahkota,surabaya.
Al-quran htp//www.al-quran exsploler.com.
Kamus besar bahasa indonesia,htp//www.kamus bahasa.com
Anderson, J. N. D., Hukum Islam Di Dunia
Modern, terj. Machnun Husein,
Surabaya: Amarpress, 1991.
Anwar, Syamsul, “Pengembangan Ilmu Syari‟ah Dan Model-Model.
Syari‟ah dan Metodologi Penelitiannya Fakultas Syari‟ah IAIN SunanKalijaga Yogyakarta tanggal 22 Nopember 2000.
Anonim, Yurisprudensi (Peradilan Agama dan Analisa), Jakarta: Yayasan AlHikmah,1995.
Anonim, Profil Peradilan Agama, Jakarta, Dirjen Badilag MARI, 2008.
Surabaya: Amarpress, 1991.
Anwar, Syamsul, “Pengembangan Ilmu Syari‟ah Dan Model-Model.
Syari‟ah dan Metodologi Penelitiannya Fakultas Syari‟ah IAIN SunanKalijaga Yogyakarta tanggal 22 Nopember 2000.
Anonim, Yurisprudensi (Peradilan Agama dan Analisa), Jakarta: Yayasan AlHikmah,1995.
Anonim, Profil Peradilan Agama, Jakarta, Dirjen Badilag MARI, 2008.
0 komentar:
Post a Comment